Penelusuran Potensi Arkeologis di Kawasan Karst Gombong Selatan
Anggraeni | Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Persamaan riwayat geologis dan sumberdaya lingkungan sangat mendukung terjadinya bentuk adaptasi yang serupa (Bartstra, 1978:64-65) atau bahkan merupakan bagian wilayah jelajah komunitas-komunitas yang sama dengan wilayah timur (Pegunungan Seribu) mengingat kawasan-kawasan tersebut saling berhubungan.
Temuan Arkeologis di Kawasan Pegunungan Serayu Selatan
Laporan tersebut ditindaklanjuti dengan penelitian oleh Basoeki pada tahun 1959. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan sejumlah artefak batu di dasar Sungai Kenteng yang terletak di sisi selatan barisan Pegunungan Serayu Selatan (Soejono, 1984:99).
Basoeki dan Bartstra kemudian melanjutkan penelitian di wilayah tersebut pada tahun 1977, melalui kerjasama antara Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional dengan Biologisch-Archaeologisch Instituut Groningen (Negeri Belanda) (Bartstra, 1978).
Sungai-sungai purba yang ada di wilayah Gombong berkaitan erat dengan sejarah geologi yang membentuk Pulau Jawa pada zaman Tersier (Asikin dkk, 1992:5). Dari sungai-sungai tersebut, selain didapatkan sumber air, juga diperoleh bahan batuan yang memungkinkan manusia untuk mengubahnya menjadi artefak. Jenis batuan yang tersedia di wilayah Gombong antara lain meliputi komponen basalt, rijang, dan andesit.
Dari hasil survei yang dilakukan di daerah aliran Sungai Kedungmacan, Sungai Karanganyar, dan Sungai Luk-Ulo, baik di dasar, tebing, maupun daerah sekitar sungai dan arah hulu, telah didapatkan 22 artefak batu Paleolitik (Widayat, 2002:47). Hasil penelitian tersebut memperkuat dugaan bahwa di kawasan Pegunungan Serayu Selatan juga terdapat tradisi pembuatan artefak batu Paleolitik. Adanya temuan-temuan tersebut, meskipun jumlahnya tidak banyak, memperluas sebaran artefak batu Paleolitik di wilayah Gombong.
Potensi arkeologis di wilayah ini, selain ditandai dengan keberadaan artefak batu Paleolitik, juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai purba dan melimpahnya jenis batuan yang dapat digunakan untuk membuat alat (Asikin dkk. 1992:5, 9-10).
Fenomena tentang kelangkaan temuan artefak batu Paleolitik di kawasan Pegunungan Serayu Selatan sementara ini diduga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam berupa besarnya aliran sungai yang dapat menyebabkan proses transformasi artefak secara alami, sedangkan faktor manusia berupa aktivitas penambangan pasir dan batu yang dapat merusak keberadaan data arkeologi (Widayat, 2002:114).
Gua lain yang memiliki ruang cukup luas, tetapi bermulut sempit, adalah Gua Payung di Desa Argopeni. Ruang gua tidak mendapat cukup cahaya, sirkulasi udaranya pun tidak bagus. Gua ini tampaknya belum banyak terganggu, meskipun telah terjadi vandalism pada interior gua yang indah. Sejumlah tulisan dan coretan ditemukan pada stalagmit dan stalagtitnya.
Keberadaan tulang dan gigi mamalia serta cangkang moluska laut di kedua gua merupakan data yang menarik yang dapat digunakan untuk memperkirakan diet dan sumber makanan bagi penghuni gua. Sebagai contoh, keberadaan moluska laut dari famili Veneridae dan Anadara yang diketahui merupakan jenis moluska laut yang dapat dimakan. Cangkang Veneridae pada sejumlah gua di kawasan karst Pegunungan Seribu bahkan digunakan sebagai bahan untuk membuat alat serut (Anggraeni dkk. 2002a: 7; 2002b:49; Simanjuntak, 2002:148).
Foto 1.
Perbukitan karst di Gombong Selatan (Foto: Leophotography)
ABSTRACT
The archaeological value of Gombong region, especially for the
karsts
area, has never been recognized before. In contrast, a long term
research project done in the karsts area of Pegunungan Seribu, 60 km to the
east of Gombong, has recovered a huge amount of archaeological data. By
conducting surface surveys focused on caves followed by observation on cave
morphology and analysis of surface finds, the archaeological value of the
karsts area of Gombong can be acknowledged. The result is, two of seven caves
observed have positive indications of habitation. Similarity between type and
technology of stone and bone artifacts of Gombong with the compared area can be
seen in some degree. So, as can be proved by the existence of stone and bone
artifacts in Jatijajar and Banteng caves, it can be concluded that the artifact
productions and technology of both areas were at the same level as those at
Pegunungan Seribu.
Keywords:
karst area-archeological data - artifacts - cave - morphology - same level
Pendahuluan
Penelitian arkeologis, khususnya penelitian prasejarah, jarang dilakukan
di wilayah selatan Jawa Tengah. Pada beberapa penelitian terdahulu, sejumlah artefak
batu Paleolitik pernah ditemukan di beberapa aliran sungai di kawasan Pegunungan Serayu Selatan yang tercakup
dalam wilayah administratif Kecamatan Gombong. Namun demikian, secara kuantitas
temuan hasil penelitian tersebut dipandang sangat sedikit sehingga tidak
menjadi prioritas untuk penelitian-penelitian prasejarah.
Di lain pihak, secara geologis di
wilayah selatan Jawa Tengah juga terdapat kawasan karst yang memiliki persamaan
sejarah dengan kawasan Pegunungan Seribu. Kawasan-kawasan karst tersebut secara
keseluruhan termasuk dalam wilayah Pegunungan Selatan Jawa (Bemmelen, 1970:29, 546-547).
Kawasan karst Pegunungan Seribu telah diketahui memiliki banyak gua yang sebagian
ideal sebagai tempat bernaung.
Penelitian arkeologis yang pernah dilakukan di gua-gua tersebut menghasilkan
temuan dalam jumlah banyak, baik berupa artefak, ekofak, maupun fitur, yang
merupakan bukti adanya penghunian dan eksploitasi lingkungan di kawasan
tersebut, sejak dari kala Plestosen hingga Holosen. Berdasarkan informasi yang diperoleh,
di kawasan karst Gombong Selatan juga terdapat sejumlah gua, namun belum pernah diteliti secara
arkeologis.
Persamaan riwayat geologis dan sumberdaya lingkungan sangat mendukung terjadinya bentuk adaptasi yang serupa (Bartstra, 1978:64-65) atau bahkan merupakan bagian wilayah jelajah komunitas-komunitas yang sama dengan wilayah timur (Pegunungan Seribu) mengingat kawasan-kawasan tersebut saling berhubungan.
Oleh karena itu, tulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang
kemungkinan adanya penghunian prasejarah di kawasan karst Gombong Selatan dan
tipe temuan artefaktualnya. Harapannya potensi arkeologis kawasan karst Gombong
Selatan yang selama ini kurang mendapat perhatian akan dapat diketahui.
Temuan Arkeologis di Kawasan Pegunungan Serayu Selatan
Sejauh
ini penelitian arkeologis yang dilakukan di wilayah Gombong masih terbatas pada
penelusuran sungai-sungai purba yang mengalir di kawasan Pegunungan Serayu Selatan.
Penelusuran sungai-sungai purba dilakukan mengingat sejauh ini temuan arkeologis
banyak diperoleh baik di tebing maupun di
aliran sungai-sungai semacam itu.
Penemuan
von Koenigswald pada tahun 1935 yang berupa artefak batu paleolitik di aliran-aliran
sungai di wilayah Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan yang kemudian terkenal dengan
istilah alat batu Pacitanian, telah mendorong
dilakukan penelitian-penelitian yang serupa. Penemuan alat batu Pacitanian telah
membuka wawasan para peneliti yang kebanyakan adalah bangsa Eropa bahwa penghunian
Pulau Jawa telah berlangsung ribuan tahun yang lalu.
Sampai
saat ini penentuan kronologi alat batu Pacitan masih menjadi
bahan perdebatan. Sebagian ahli memperkirakan bahwa alat-alat tersebut dibuat
oleh manusia Jawa (Homo erectus) pada Kala Plestosen, namun ahli lain seperti G.J.
Bartstra (1984:174) berpendapat bahwa umur alat batu Pacitanian tidak lebih
dari 50.000 tahun.
Houbolt yang melakukan penelusuran sungai di daerah Gombong pada tahun
1939 melaporkan bahwa beberapa artefak batu yang mirip dengan artefak batu
Paleolitik dari Pacitan telah ditemukan di Kedung Bulus, 4 km di sebelah timur
laut Gombong (Soejono, 1984:99).
Laporan tersebut ditindaklanjuti dengan penelitian oleh Basoeki pada tahun 1959. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan sejumlah artefak batu di dasar Sungai Kenteng yang terletak di sisi selatan barisan Pegunungan Serayu Selatan (Soejono, 1984:99).
Basoeki dan Bartstra kemudian melanjutkan penelitian di wilayah tersebut pada tahun 1977, melalui kerjasama antara Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional dengan Biologisch-Archaeologisch Instituut Groningen (Negeri Belanda) (Bartstra, 1978).
Dalam penelitian tersebut diperoleh alat batu Paleolitik tipe perimbas
dan penetak di aliran sungai yang sama dengan penelitian sebelumnya, namun
lebih ke arah hulu, tepatnya di Desa Semali (Soejono, 1984:99).
Sungai-sungai purba yang ada di wilayah Gombong berkaitan erat dengan sejarah geologi yang membentuk Pulau Jawa pada zaman Tersier (Asikin dkk, 1992:5). Dari sungai-sungai tersebut, selain didapatkan sumber air, juga diperoleh bahan batuan yang memungkinkan manusia untuk mengubahnya menjadi artefak. Jenis batuan yang tersedia di wilayah Gombong antara lain meliputi komponen basalt, rijang, dan andesit.
Ketersediaan
sumber bahan yang melimpah, tetapi tidak sebanding dengan jumlah temuan
arkeologis, telah menimbulkan tanda tanya besar. Kelangkaan temuan artefak batu
tersebut mendorong Aris Budi Prasetya untuk melakukan penelitian dalam rangka
penulisan skripsi pada tahun 1992-1994.
Dalam survey
yang dilakukannya di daerah aliran Sungai Kenteng, yang meliputi Desa Kenteng,
Semali, dan Kedung Bulus, 61 artefak batu Paleolitik
telah ditemukan.
Artefak tersebut terdiri atas artefak batu masif seperti kapak perimbas, kapak
penetak dan artefak batu nonmasif atau serpih (Prasetya, 1995:35-35).
Berdasarkan
ciri-ciri yang ada pada artefak batu dari Gombong, Prasetya menyimpulkan bahwa artefak-artefak
tersebut mirip dengan artefak batu dari Pacitan. Perbedaannya terletak pada
jenis bahan batuan yang digunakan; artefak batu dari Gombong dibuat dengan
batuan yang lebih bervariasi (Prasetya, 1995:73).
Ahmad Rosyadi Widayat juga tertarik dengan kelangkaan artefak batu di
wilayah Pegunungan Serayu Selatan untuk
penulisan skripsi. Dalam penelitian tersebut Widayat tidak hanya melakukan
survei untuk mengetahui sebaran artefak batu Paleolitik, tetapi juga berusaha
mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan artefak-artefak tersebut.
Dari hasil survei yang dilakukan di daerah aliran Sungai Kedungmacan, Sungai Karanganyar, dan Sungai Luk-Ulo, baik di dasar, tebing, maupun daerah sekitar sungai dan arah hulu, telah didapatkan 22 artefak batu Paleolitik (Widayat, 2002:47). Hasil penelitian tersebut memperkuat dugaan bahwa di kawasan Pegunungan Serayu Selatan juga terdapat tradisi pembuatan artefak batu Paleolitik. Adanya temuan-temuan tersebut, meskipun jumlahnya tidak banyak, memperluas sebaran artefak batu Paleolitik di wilayah Gombong.
Potensi arkeologis di wilayah ini, selain ditandai dengan keberadaan artefak batu Paleolitik, juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai purba dan melimpahnya jenis batuan yang dapat digunakan untuk membuat alat (Asikin dkk. 1992:5, 9-10).
Disamping itu ketersediaan sumberdaya hayati yang memungkinkan manusia
untuk melakukan perburuan dan mengumpul makanan tentu juga menjadi faktor yang
penting untuk dipertimbangkan (Widayat, 2002:114).
Dengan tersedianya sumberdaya
lingkungan baik sumberdaya hayati maupun nonhayati mengindikasikan bahwa
lingkungan tersebut layak untuk dihuni meskipun dalam waktu sebentar (Widayat,
2002:113).
Fenomena tentang kelangkaan temuan artefak batu Paleolitik di kawasan Pegunungan Serayu Selatan sementara ini diduga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam berupa besarnya aliran sungai yang dapat menyebabkan proses transformasi artefak secara alami, sedangkan faktor manusia berupa aktivitas penambangan pasir dan batu yang dapat merusak keberadaan data arkeologi (Widayat, 2002:114).
Di antara batu-batu yang diambil dari tepian sungai dan kemudian dipecah hingga mencapai ukuran
tertentu, terdapat sejumlah artefak batu yang merupakan data penting bagi
arkeologi.
Gua-Gua Karst di Gombong Selatan
Di samping Pegunungan Serayu Selatan yang dialiri sungai-sungai purba
yang besar, di wilayah Gombong juga terdapat kawasan perbukitan karst, yang
secara geologis dikenal sebagai kawasan karst Gombong Selatan. Kawasan ini,
sebagaimana kawasan karst Pegunungan Seribu, merupakan bagian dari Pegunungan
Selatan yang membentang di bagian selatan Jawa.
Bentangalam karst Gombong Selatan merupakan kegelkarst, yaitu bentang
alam yang meliputi bukit-bukit kerucut yang berlereng terjal dengan lekuk-lekuk tertutup (cockpit) di sela-selanya (Samodra, 2001:49; lihat foto
1).
Menurut Samodra
(2001:2) istilah karst mempunyai pengertian “suatu bentangalam, yang secara khusus
berkembang pada batuan karbonat akibat proses karstifikasi” (pelarutan) “selama
ruang dan waktu geologi yang tersedia”.
Kegiatan
pelarutan pada batuan inilah yang terutama menyebabkan terbentuknya gua-gua karst.
Berdasarkan
hasil penelitian gua-gua karst di kawasan Pegunungan Seribu bagian timur, yaitu
di wilayah Kabupaten Pacitan, Wonogiri, dan Gunungkidul, diketahui adanya banyak
temuan arkeologis dengan karakter berbeda
dari temuan di aliran-aliran sungai.
Temuan–temuan
tersebut pada umumnya berupa alat-alat dari serpihan batu, tulang, tanduk, atau
cangkang kerang, disertai dengan bukti-bukti mengenai aktivitas produksi,
berupa alat pemukul, bahan, dan limbah, serta bekas perapian, sisa makanan, dan
rangka yang dikuburkan. Secara kese- luruhan, temuan-temuan tersebut telah menjadi
bukti adanya kehidupan manusia di gua-gua di pesisir selatan Jawa pada akhir
Kala Plestosen atau awal Kala Holosen sampai dengan pertengahan Holosen, yaitu
sekitar 10.000
sampai dengan 5.000 tahun yang lampau.
Berkenaan
dengan adanya temuan-temuan arkeologis di kawasan karst Pegunungan Seribu,
dilakukan upaya penelusuran terhadap gua-gua di wilayah Gombong dengan tujuan menjajagi
kemungkinan adanya tingkat kehidupan prasejarah yang sejajar. Upaya ini didasarkan
pada keberadaan temuan artefak batu Paleolitik di aliran-aliran sungai purba
dan adanya gua-gua di kawasan karst Gombong Selatan.
Berdasarkan
peta rupa bumi lembar 1308-342 Rowokele dan lembar 1308-342 Karangbolong Edisi
1-1999, serta informasi penduduk setempat diketahui bahwa di kawasan perbukitan
karst Gombong Selatan terdapat puluhan gua, baik gua vertical ( luweng) maupun
horisontal. Pada saat ini, sebagian
dari gua-gua di kawasan tersebut masih dialiri air.
Hasil
survei arkeologis terhadap tujuh buah gua yang terletak di tepi selatan dan
utara kawasan karst Gombong Selatan menunjukkan bahwa gua-gua tersebut pada
umumnya terletak di lereng atas suatu bukit.
Gua-gua di lereng atas bukit meliputi Gua Jatijajar di Kecamatan Ayah, Gua Ka, Gua
Terbang, Gua Payung, dan Gua Banteng di Kecamatan Buayan. Adapun dua gua yang
lain terletak di dasar lembah, yaitu Gua Surupan di Desa Argopeni, Kecamatan
Ayah dan Gua Sikidang di Desa Nogoraji, Kecamatan Buayan.
Bila
ditinjau dari ukuran dan morfologinya, Gua Banteng di Desa Karangsari dan Gua Jatijajar
di Desa Jatijajar merupakan gua-gua
besar yang ideal untuk dihuni. Di kaki bukit di bawah gua Jatijajar dan Gua
Banteng terdapat sungai yang dapat menunjang kehidupan penghuni gua.
Gua
Banteng memiliki dua buah rongga masuk atau mulut gua. Mulut gua utama berukuran
tinggi 3 m dan lebar 7 m, dengan ruang gua yang luas, lantai yang kering, dan sirkulasi
udara yang bagus. Sayangnya, sebagian
besar lantai Gua Banteng saat ini kondisinya sudah rusak akibat aktivitas penambangan
fosfat.
Gua besar
lainnya, yaitu Gua Jatijajar, bahkan memiliki ruang yang jauh lebih besar. Mulut
gua ini tingginya 9,7 m dengan lebar 10 m sehingga sirkulasi udara dan
pencahayaan pada gua juga bagus. Sejak tahun 1975, kompleks Gua Jatijajar
dimodifikasi secara besar-besaran untuk kepentingan pariwisata. Jalan mendaki
bukit untuk menuju ke mulut gua sudah dibuat berundak. Di bagian dalam gua ditempatkan
patung Kamandaka, sebagian
lantai
gua disemen dan dibuatkan tangga serta jalur jalan untuk kenyamanan pengunjung
gua.
Di
sebelah kiri mulut gua, beberapa bagian dinding gua tampaknya sengaja
diruntuhkan untuk memudahkan akses menuju rongga-rongga gua dan diberi nama
tersendiri, yaitu Gua Inten, Gua Titikan, dan Gua Dempok.
Gua lain yang memiliki ruang cukup luas, tetapi bermulut sempit, adalah Gua Payung di Desa Argopeni. Ruang gua tidak mendapat cukup cahaya, sirkulasi udaranya pun tidak bagus. Gua ini tampaknya belum banyak terganggu, meskipun telah terjadi vandalism pada interior gua yang indah. Sejumlah tulisan dan coretan ditemukan pada stalagmit dan stalagtitnya.
Gua
Terbang dan Gua Ka yang terletak di Dusun Tugu, Desa Banyumudal merupakan gua berukuran kecil dan lebih menyerupai ceruk. Kedua gua
tersebut berada pada lereng atas yang cukup terjal dengan kemiringan 34˚ sehingga
lumayan sulit untuk dijangkau.
Deposit Gua Terbang dan Gua Ka juga sudah mengalami kerusakan akibat aktivitas
penambangan fosfat yang intensif.
Gua
Surupan yang terletak di Desa Argopeni sebenarnya merupakan gua yang cukup
besar, mudah dijangkau, dan memiliki interior yang cukup bagus. Sirkulasi udara
dan cahaya yang masuk juga memadai. Namun,
sampai saat ini gua yang terletak di dasar lembah tersebut masih dialiri air.
Secara
morfologis Gua Sikidang di Desa Nogoraji tampak berbeda dari enam gua yang sudah
disurvei. Gua yang terletak di daerah lembah ini merupakan ponor (saluran
air) yang mengikis endapan breksi andesit. Dalam hal ini, jelas bahwa proses
pembentukannya berbeda dari gua-gua lainnya. Batas-batas bekas aliran air
tampak hingga ke atap gua yang saat ini dalam keadaan kering.
Potensi Arkeologis Kawasan Karst Gombong
Jika
ditinjau dari ukuran dan morfologi gua, serta ketersedian sumber air, di antara
ketujuh gua yang sudah disurvei, Gua Banteng dan Gua Jatijajar merupakan
gua-gua yang paling potensial untuk dihuni. Meskipun pada masa sekarang kedua
gua terletak di lereng atas bukit karst, kemungkinan besar posisi awalnya tidak
setinggi sekarang. Peristiwa geologis, seperti proses pengangkatan, telah menyebabkan
gua-gua berada pada posisinya sekarang.
Selain
kondisi gua dan daya dukung lingkungan, potensi gua sebagai lokasi hunian masa
prasejarah dapat diketahui dari keberadaan data arkeologi, baik berupa artefak maupun
ekofak. Sejauh ini, temuan arkeologis yang cukup signifikan berhasil didapatkan
di Gua Banteng dan Jatijajar meskipun tidak dalam keadaan in situ karena
deposit gua sudah terganggu.
Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap sisa deposit gua yang dibuang pada dinding luar Gua
Jatijajar, telah diperoleh beberapa temuan arkeologis berupa tiga buah serpih dari
batu gamping kersikan, satu buah artefak tulang,
tanduk rusa, sejumlah fragmen tulang dan gigi binatang, serta cangkang moluska laut
(Veneridae sp . dan (Anadara sp.).
Beberapa
di antara fragmen tulang binatang tersebut menunjukkan tanda-tanda terbakar dan
jelas bukan tulang yang resen.
Hasil
analisis artefaktual menunjukkan bahwa satu di antara tiga buah serpih batu yang
ditemukan di Gua Jatijajar merupakan limbah pembuatan artefak batu dan masih menyisakan
bagian korteks. Adanya indikasi pembuatan alat serpih pada Gua Jatijajar dapat
diketahui dari temuan dua buah batu pukul yang salah satunya menunjukkan kerusakan
cukup intensif. Bahan artefak yang berupa gamping kersikan mengindikasikan bahwa sumber batuan ada di lingkungan sekitar gua.
Selain
artefak batu, dari deposit Gua Jatijajar ditemukan pula artefak tulang meskipun
hanya satu buah, berupa lancipan berujung tunggal. Morfologi lancipan tersebut belum
sempurna atau masih dalam taraf pembuatan. Hal ini tampak pada bagian bekas pangkasan
dua arah yang belum menampakkan usaha
untuk mengasah, menggosok, atau memanggang. Lancipan tulang
yang sudah sempurna pembuatannya, seperti yang ditemukan pada gua-gua di
Pegunungan Seribu, biasanya menunjukkan bagian ujung yang sudah halus dan agak
kehitaman, akibat dipanggang. Pemanggangan tulang dimaksudkan untuk memadatkan
matriks tulang sehingga lebih keras dan dapat digunakan sebagai alat.
Sementara
itu, temuan arkeologis dari Gua Banteng didapatkan pada sisa deposit bekas aktivitas penggalian di dalam gua.
Temuan tersebut
berupa dua buah fragmen gerabah, sejumlah cangkang moluska, baik moluska laut (Veneridae),
air tawar (Lymnaeidae), maupun darat (Helicidae, Zonitidae, Vallonidae), serta
tulang dan taring binatang.
Salah
satu fragmen gerabah yang ditemukan memiliki motif hias tera berupa garis
putus-putus pada permukaannya. Fragmen tersebut merupakan bagian badan sebuah
wadah yang berwarna kecoklatan. Temper yang dicampurkan pada bahan gerabah ini
berupa remukan koral
.
Fragmen gerabah yang lain merupakan bagian bibir suatu wadah, kemungkinan
berupa periuk yang bibirnya melekuk keluar. Diameter mulut gerabah yang
berwarna kehitaman ini sekitar 16 cm.
Keberadaan tulang dan gigi mamalia serta cangkang moluska laut di kedua gua merupakan data yang menarik yang dapat digunakan untuk memperkirakan diet dan sumber makanan bagi penghuni gua. Sebagai contoh, keberadaan moluska laut dari famili Veneridae dan Anadara yang diketahui merupakan jenis moluska laut yang dapat dimakan. Cangkang Veneridae pada sejumlah gua di kawasan karst Pegunungan Seribu bahkan digunakan sebagai bahan untuk membuat alat serut (Anggraeni dkk. 2002a: 7; 2002b:49; Simanjuntak, 2002:148).
Pada saat
ini, di Gua Jatijajar dan Gua Banteng belum ditemukan serut kerang. Namun demikian,
melihat ketersediaan bahan dan tingkat teknologi artefak yang dimiliki, tidak mustahil
bahwa alat serut dari cangkang Veneridae juga pernah dibuat oleh penghuni kedua
gua.
Berdasarkan
keberadaan temuan-temuan tersebut tampak jelas bahwa pada masa lampau beberapa
gua di kawasan karst Gombong Selatan pernah dihuni. Meskipun tidak in situ lagi,
temuan-temuan tersebut menunjukkan persamaan tipe dan tingkat teknologi dengan temuan dari Pegunungan Seribu. Keberadaan cangkang moluska laut pada Gua
Jatijajar dan Gua Banteng yang masing-masing berjarak sekitar 6 km dan 12 km
dari pantai mengindikasikan adanya eksploitasi sumberdaya laut oleh para penghuni
gua.
Selain
eksploitasi sumberdaya laut, sumberdaya lingkungan yang ada di sekitar gua tentunya menjadi pendukung utama bagi kehidupan para penghuni gua. Keberadaan fragmen-fragmen
tulang dan gigi hewan mamalia menunjukkan bukti adanya eksploitasi sumberdaya
hayati yang tersedia tidak jauh dari gua.
Dalam hal
ini, ketersediaan air yang melimpah, seperti mata air-mata air yang ada di kaki
bukit dekat gua, misalnya Gua Jatijajar, memungkinkan makhluk hidup, baik
manusia, hewan, maupun tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Kawasan
yang tampaknya kering dan tandus tersebut suatu ketika pernah memiliki keanekaragaman
sumberdaya hayati dan nonhayati yang memadai.
Keberadaan
sumberdaya nonhayati seperti batu gamping yang menjadi bahan utama pembuatan
semen, fosfat guano yang dapat digunakan untuk pupuk, serta batu lintang, menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya
aktivitas penambangan dan kerusakan kawasan karst.
Hal ini
juga berarti mengancam kelestarian dan bahkan merusak deposit gua-gua yang
mengandung temuan arkeologis. Di samping itu, morfologi gua yang khas, seperti
Gua Jatijajar, menjadikan gua tersebut menarik untuk dijadikan objek wisata.
Upaya pembangunan jalan setapak di dalam gua, pengerasan lantai gua dengan semen
yang disertai dengan pengerukan deposit
gua sedikit banyak telah merusak keaslian gua dan sekaligus menghilangkan data
arkeologis yang penting untuk menyusun sejarah penghunian manusia pada suatu kawasan
di masa lampau.
Tiga gua
yang lain, yaitu Gua Payung, Gua Ka dan Gua Terbang, dilihat dari morfologinya
mempunyai potensi sebagai gua hunian, tetapi temuan arkeologis yang diperlukan
untuk mendukung asumsi tersebut kurang
signifikan. Dari sisa deposit Gua Terbang, misalnya, hanya didapatkan sedikit fragmen
gerabah.
Hal ini
disebabkan oleh tingkat kerusakan gua sebagai akibat aktivitas penambangan
sudah cukup parah sehingga mengakibatkan deposit gua yang mungkin semula mengandung
data arkeologis sudah habis.
Penutup
Hasil
penelusuran potensi arkeologis di kawasan karst Gombong Selatan menunjukkan bahwa
di kawasan tersebut terdapat gua-gua hunian yang dapat disejajarkan dengan gua-gua
di Pegunungan Seribu. Kemungkinan mengenai penghunian beberapa gua di kawasan
karst Gombong Selatan, seperti Gua Jatijajar dan Gua Banteng, tersirat melalui
morfologi gua dan temuan arkeologis yang didapatkan di gua-gua tersebut.
Meskipun
jumlah temuan sangat sedikit dan sudah tidak in situ lagi tidak mengurangi signifikansinya
sebagai data arkeologi yang berguna untuk mengungkap kehidupan manusia pada
masa lampau.
Hasil
analisis terhadap temuan artefaktual dan ekofaktual menunjukkan bahwa manusia penghuni
Gua Jatijajar dan Gua Banteng juga melakukan aktivitas pembuatan alat dan mengeksploitasi
sumberdaya lingkungan.
Aktivitas
pembuatan alat dari batu dan tulang ditunjukkan oleh keberadaan lancipan
tulang, artefak batu (serpih dan limbah) disertai dengan batu pemukul yang
menunjukkan kerusakan.
Jenis
bahan dan tipe artefak yang ditemukan di kawasan karst Gombong yang mempunyai
kemiripan dengan temuan artefak dari gua-gua di Pegunungan Seribu mengindikasikan
bahwa teknologi di kedua kawasan berada pada tingkat yang sejajar pada suatu
masa.
Pemanfaatan
sumberdaya lingkungan hayati untuk keperluan makan diketahui dari keberadaan
tulang, tanduk, dan gigi rusa dan mamalia lainnya, serta taring babi. Di
samping pemanfaatan mamalia darat tersebut, eksploitasi terhadap biota laut
juga dilakukan.
Keberadaan
cangkang moluska laut seperti Veneridae dan Anadara mengindikasikan
adanya kegiatan eksploitasi tersebut. Jarak antara kedua gua dengan pantai,
yaitu sekitar 6 km dari Gua Jatijajar dan 12 km dari Gua Banteng,
bukan merupakan hambatan. Jarak tersebut masih berada pada jarak tempuh suatu
wilayah jelajah.
Berdasarkan
sisa-sisa temuan artefaktual dan ekofak dari gua-gua yang sudah terganggu oleh
aktivitas masa kini tampak jelas bahwa secara luas kawasan karst Gombong
Selatan sendiri terancam kelestariannya akibat penambangan
gamping untuk pembuatan semen. Oleh karena itu, gua-gua di kawasan karst
Gombong Selatan yang rawan terhadap kerusakan sebagai akibat penambangan fosfat
guano dan batu lintang, tetapi belum terjangkau survei kali ini, perlu segera
diteliti secara intensif.
___
___
Daftar Rujukan
Anggraeni, Mahirta, D.S.
Nugrahani. 2002a. “Karakteristik Budaya Bendawi Kawasan Ponjong: Hasil
Ekskavasi Situs Song Bentar dan Song Blendrong”.
Makalah disampaikan dalam
Seminar Sehari Gunungkidul dalam Visi Budaya
dan Lingkungan Purba,
Yogya-karta, 17 September 2002.
___________ 2002b.
“Eksploitasi Sumberdaya Hayati Pegunungan Seribu pada Awal Holosen dan Implikasinya:
Studi Kasus di Kecamatan Ponjong, Gunungkidul”,
Laporan Penelitian MAK
5250 DIK UGM, 2002.
Asikin, Sukendar, A. Handoyo,
H. Busono, dan S.Gafoer.1992. Geologi Lembar Kebumen, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.
Bartstra, Gert-Jan.1978. “Recent
Palaeolithic Research in Java (Kali Glagah, Pacitan, Gombong, Sangiran): The First
Six Months of a New Project”, dalam Gert Jan Bartstra andWillem Arnold Casparie,
Modern QuatenaryResearch in Southest Asia,Vol.4,Rotterdam: A.A Balkema, halaman
63-70.
-----. 1984. “Some Remarks
Upon: Fossil Man fromJava, His Age, and His Tools”, dalam Pietervan de Velde
(ed.). Prehistoric Indonesia AReader.VKI 104, halaman 164-177.
Bemmelen, R.W. van. 1970.
The Geology of Indonesia,Vol. 1, edisi ke-2. The Hague: Martinus Nijhoff.
Prasetya, Aris Budi. 1995.
“Identifikasi Artefak BatuSitus Kenteng, Semali, dan Kedungbulus diGombong”, Skripsi
Sarjana, Fakultas SastraUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Samodra, Hanang. 2001. Nilai
Strategis KawasanKars di Indonesia, Pengelolaan dan Perlindungan-nya. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengem-bangan Geologi.
Simanjuntak, Truman (ed.).
2002. Gunung Sewu inPrehistoric Times.
Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity
Press.
Soejono, R.P., ed. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia,Jilid I, terbitan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.
Widayat, R. Ahmad
Rosyadi. 2002. “KeberadaanArtefak Batu Paleolitik di Kawasan PegununganSerayu
Selatan dan Faktor yang Mempe-ngaruhinya”, Skripsi Sarjana, Fakultas SastraUniversitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar