Dominasi Modal Asing
Jumat, 1 Juli 2011 | 1:50 WIB
Sejumlah media arus utama telah mengangkat soal dominasi modal asing dalam perekonomian Indonesia. Sepanjang yang kami ketahui, apa yang disampaikan oleh media arus utama itu bukanlah hal yang baru, tetapi sudah seringkali disuarakan oleh kelompok-kelompok kritis dan kalangan oposisi.
Dominasi
modal asing sebetulnya bukan cuma mengkhawatirkan, tetapi sekaligus telah
membawa perekonomian nasional dalam ‘situasi genting’.
Sebab, mengutip
perkataan Bung Karno 81 tahun yang lalu, bahwa ‘raksasa biasa yang dulu
berjengkelitan di atas pada kerezekian Indonesia, kini sudah menjadi raksasa
Rahwana-Dasamuka yang bermulut sepuluh’.
Dominasi
modal asing itu dapat dilihat pada tiga lapangan:
pertama, menguasai
perbankan nasional;
kedua, mendominasi investasi di Indonesia;
ketiga,
menguasai bursa saham di Indonesia. Dengan menguasai tiga lapangan ekonomi yang
sangat penting itu, maka modal asing sebetulnya sudah ‘mencekik’ leher
perekonomian nasional.
Perdebatan
soal perlu dan tidaknya modal asing hampir bersamaan dengan pembicaraan soal
lahirnya nation baru bernama Indonesia. Bung Karno sudah mengulas soal
modal asing itu dalam tulisan-tulisannya sejak tahun 1930-an. Sejak awal, di
kalangan republik sendiri, ada pihak-pihak yang menganggap modal asing sangat
penting untuk mendorong ekonomi nasional Indonesia.
Karena modal nasional atau
milik bangsa Indonesia masih sedikit, maka modal asing diperbolehkan untuk membangun
kepentingannya di Indonesia.
Mohammad
Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama, pernah berkata:
“Soal kapital
menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat
sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai
jalan untuk memakmurkan rakyat, perkataan-perkataan kemakmuran rakyat (cetak
tebal, red) mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah.
Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang
oleh orang luaran.
Dan,
dengan jalan itu, kata Mohammad Hatta, industrialisasi tidak akan berjalan di
Indonesia, karena modal asing hanya membangun pabrik menurut kepentingannya
sendiri atau membangun pabrik pada sektor-sektor yang menjanjikan keuntungan
berlebih.
Dan,
memang betul apa yang dikatakan Hatta, sudah 60 tahun lebih modal asing
mengambil peranan dalam perekonomian sejak Indonesia merdeka, industri yang
terbangun masih sangat sedikit.
Sebaliknya,
jika kita teliti lagi dengan baik, keberadaan modal asing itu justru membawa
tiga malapetaka: merampok semua kekayaan alam bangsa kita, mengangkut
keuntungan besar sekali dari bumi kita, dan menciptakan kemiskinan dan ancaman
kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Akibat
dari penguasaan asing itu, sebagaimana diakui oleh Burhanuddin Abdullah, mantan
Gubernur Bank Indonesia, ‘rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari
keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar.’
Kita
boleh percaya atau tidak dengan apa yang dikatakan oleh Burhanuddin Abdullah.
Tetapi, apa yang tak terbantahkan, bahwa kita bangsa yang punya kekayaan alam
yang melimpah dan sumber daya manusia yang besar, tetapi kenyataannya sebagian
besar rakyat kita hidup sengsara.
Selain
itu, supaya modal asing itu bisa berkembang dan mencapai tujuan-tujuannya, maka
mereka pun mengajukan syarat-syarat: jaminan keamanan, penyediaan tenaga kerja
berupah rendah, stabilitas ekonomi, kemudahan transfer modal dan keuntungan,
dan keringanan pajak.
Dengan
keberadaan syarat-syarat itu, maka modal asing bebas menggali keuntungan
sebesar-besarnya di bumi Indonesia, sedangkan kehidupan rakyat dan ekonomi
nasional menjadi tergerus karenanya. Beberapa dampak yang terlihat, antara
lain:
Pertama, perampokan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang
penting menyebabkan—meminjam istilah Bung Karno—‘pengeringan terhadap rakyat
Indonesia’.
Kedua, karena modal asing memerlukan tanah, pembangunan
infrastruktur pendukung, dan jaminan keamanan, maka sering terjadi perampasan
tanah, penggusuran, dan represi atau penindasan terhadap rakyat.
Sumber Artikel: BerdikariOnline